Sumber Gambar : www.wn.com
PEMIKIRAN
EKONOMI MENURUT
ZAYD BIN
ALI DAN ABU HANIFAH
Disusun
Oleh :
Yunita Tri Rahayu 132503085
Libna Aqmarina 1405015091
M. Yafi
Amrillah 1405015124
Nur
Rohmat 1405015166
Alviana Faeruzza P 1405015142
JURUSAN
D3 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sebagai muslim, kita dituntut untuk menerapkan
keislaman pada semua aspek kehidupan, termasuk dari aspek ekonomi. Maka
mempelajari sejarah dan sistem ekonomi islam secara mendalam adalah suatu
keharusan, dan untuk selanjutnya disosialisasikan dan diterapkan agar sesuai
dengan syari’at islam.
Pemikiran ekonomi islam sudah ada sejak
diangkatnya Muhammad sebagai utusan Allah pada usia ke 40 yaitu sekitar abad
akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Rasulullah mengeluarkan berbagai kontribusi dan
pemikiran tentang ekonomi islam yang selanjutnya diteruskan para ulama-ulama
yang juga memberikan kontribusi dan menanggapi berbagai permasalahan ekonomi
syariah. Pemikiran ekonomi islam didasarkan atas Al-Qur’an dan al-hadits.
Perkembangan pemikiran ekonomi islam dapat dibagi beberapa periode, diantaranya
periode pertama di mulai pada tahun sebelum 450 H/1058 M, periode kedua pada
tahun 450 - 850 H/1058 - 1446 H, periode ketiga pada tahun 850 – 1350 H/1446 –
1932 M, periode keempat atau periode kotemporer dimulai tahun 1930 dan bertahan
sampai sekarang.
Namun dalam pembahasan makalah kami akan
menuliskan tokoh pemikir ilmu ekonomi islam pada periode pertama saja yaitu
pemikiran ekonomi menurut Zayd bin Ali (80-120H / 699-738 M) dan Al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah.
1. Biografi Zayd bin Ali sebagai tokoh
pemikir ekonomi islam?
2. Bagaimana sejarah pemikiran ekonomi menurut Zayd bin Ali?
3. Bagaimana pemikiran ekonomi menurut Abu Hanifah?
BAB II
PEMBAHASAN
i. Mengenal Zayd Bin Ali.
Nama lengkap secara
silsilah Ahlu Bait ialah Imam Zayd ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain sebagai
Imam kelima dari dua belah Imam dalam tubuh Syi’ah. Jelasnya, Zayd bin Ali
adalah putra dari Imam Syi’ah ke empat, yaitu Ali Zainal Abidin dan cucu dari
Husain bin Ali Imam Syi’ah kelima.[1]
Beliau lahir di Madinah
pada tahun 80 H/699 M sama dengan kelahiran Imam Ja’far dan Imam Abu Hanifah.
Pertama kali beliau belajar kepada orang tuanya sendiri yaitu Ali Zainal
Abidin. Setelah meninggal dunia tahun 94 H pada waktu itu usia Zayd berumur 14
tahun. Selanjutnya ia berguru kepada Imam Ja’far As-Shadiq yang saat itu diasuh
oleh Muhammad Al-Bahir (bapak Ja’far).
Kemudian Zayd hijrah ke
Basrah dan berguru dengan Washil bin Atha dengan mempelajari paham muktazilah.
Setelah kembali ke Madinah Imam Zayd mulai mengajar dan bekerja sebagai ulama
dan guru. Meskipun selalu diawasi oleh khalifah bani ummayah. Karena sikap
khalifah terlalu memojokkan gerak-geriknya, Zayd pergi ke Kufah sampai ia
mendapat 40.000 pengikutnya.
Pertempuran dengan
khalifah bani ummayahpun terjadi karena persoalan “dendam politik” terhadap
Ahlu Bait hingga Zayd terbunuh. Para ulama di Madinah mengakui keilmuan yang
dimiliku Imam Zayd dalam berbagai bidang ilmu, seperti ilmu Al-Qur’an, ilmu
tafsir, tauhid, fiqih, filsafat, ekonomi, dan sebagainya. Bahkan Imam Abu
Hanifah pernah berguru kepadanya selama 2 tahun. Iman Zayd dijuluki sebagai
simbol ketaqwaan dan keluasan ilmu. Fakta itulah yang membuat Imam Abu Hanifah
pernah berguru kepadanya.
Zayd juga dikenal
sebagai ulama syi’ah yang tidak berlebiha-lebihan. Ia mengakui kedua khalifah
Abu Bakar dan Umar, bahkan Zayd membolehkan adanya Imam yang baik, sekalipun
ada yang lebih baik. meskipun sebagian dikalangan syi’ah sendiri, pikiran Zayd
tidak diterima. Bahkan, lebih keras lagi, Zayd mengharamkan nikah muth’ah, pada
syi’ah lain menganutnya. Beberapa pokok pikiran Zayd diantaranya:
1.
Sanad
hadist yang diutamakan ialah yang berasal Ahli Bait.
2.
Khalifah
bukanlah jabatan keturunan.
3.
Melaksanakan
amar ma’ruf merupakan kewajiban atas setiap muslim karena itulah ia bertempur
dengan khalifah Zayd.
4.
Pelaku
dosa besar diletakkan antara kufur dan iman, mereka dinamakan fasiq.
5.
Manusia
merupaka ikhtiar dan bertindak sesuai dengan kemampuan.
6.
Para
imam tidak mempunyai mukjizat.
Sementara dalam aspek fiqih misalnya
thaharah, ia dan makzabnya dikenal berlebihan atau (tasyaddud), meskipun tidak
berdampak negatif seperti berkumur-kumur harus dihirup oleh hidup, mengusap
seluruh kepala kedepan dan kebelakang, dan sebagainya.[2]
ii. Pemikiran Ekonomi Menurut Zayd Bin Ali (80-120H / 699-738 M).
Zayd bin Ali juga
merupakan ahli fiqh yang terkenal di Madinah. Zayd bin Ali juga sebagai tokoh
penggagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih
tinggi dari harga tunai.[3]
Pengakuan bahwa Zayd
bin Ali sebagai ahli fiqh pernah diucapkan oleh Iman Abu Hanifah yang pernah
berguru selama 2 tahun, yaitu:
“Aku kenal Imam Zayd bin Ali sebagaimana
aku kenal tentang keluarganya. Di masanya tidak pernah seorang yang lebih ahli
dalam fiqh daripada beliau. Dan aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih
luas ilmu dan pengetahuannya, lebih cepat menjawab dan lebih terang
penjelasannya daripada beliau, jarang sekali mendapati orang semacam beliau.”[4]
Beberapa pandangan dan
pengetahuannya tentang isu-isu ekonomi yang telah dipaparkan oleh Abu Zahra,
Zayd bin Ali memperbolehkan penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga
yang lebih tinggi dari harga tunai. Zayd tidak membolehkan harga yang
ditangguhkan pembayarannya lebih tinggi dari pembayaran tunai.
Dasar-dasar pemikiran
ekonomi Imam Zayd bin Ali adalah menyatakan keabsahan jual beli secara tangguh
dengan harga yang lebih daripada jual beli tunai. Pemikiran ini menjadi salah
pijakan mendapat tentang menetapkan kelebihan harga yang lebih tinggi pada jual
beli secara kredit ataupun tangguh atau tertunda.[5]
Beliau tidak
memperbolehkan harga yang ditangguhkan pembayarnya lebih tinggi dari pembayaran
tunai, sebagaimana halnya penambahan pembayaran dalam penundaan pengembalian
pinjaman. Setiap penambahan terhadap penundaan pembayaran adalah riba. Tidak
ada perbedaan antara pengucapan:
“Engkau
membayarnya sekarang atau memberi lebih sebagai pengganti pemindaian.
Menjual pada tingkat harga yang lebih tinggi dari pada tunai karena penundaan
pembayaran adalah sama dan itu adalaah riba.”[6]
Prinsipnya jenis
transaksi barang atau jasa yang halal kalau didasarkanatas suka sama suka
diperbolehkan. Sebagai mana firman Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 29 yaitu:
“Hai orang-orang beriman janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
Dalam kegiatan
perniagaan yang didasarkan pada penjualan kredit, perlu diperhatikan bahwa para
pedagang mendapatkan untung darinya, pendapatan seperti itu adalah bagian dari
perniagaan bukan riba. Contohnya, apabila ada harga barang pada saat harga
tunainya hanya saru juta rupiah maka dalam harga kreditnya bisa lebih tinggi
dari satu juta dan ini merupakan transaksi yang sah. Tapi yang harus
diperhatikan dalam transaksi ini menurut Zayd bin Ali adalah keharusannya
dilandasi oleh prinsip saling ridha antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
(Karim, 2004)
Contoh lain dari
kesepakatan yang dicapai pada kasus orang yang menjual barang dengan kredit
yaitu ada seseorang yang melakukan penambahan pendapatan untuk mempromosikan
bisnisnya. Ini adalah sebuah respon terhadap pasar, bukan suatu tindakan diluar
apa yang dibutuhkan oleh penjual. Dengan alasan ini penjual dengan kresit bisa
menetapka harga yang berbeda untuk waktu pembayaran yang berbeda.
Seseorang yang membeli
kredit mendapatkan aset produktif yang dapat memberikan keuntungan, dan
mendapatkan keuntungan adalah salah satu dari tujuan perniagaan yang dilakukan
oleh peminjam. Dalam persoalan ini, selisih antara harga tunai dengan
harga yang ditangguhkan adalah nilai keuntungan dan disebut suatu yang riba.
Masalah tersebut tentu akan berbeda dengan penangguhan pembayaran pinjaman.
Seorang yang menjamin suatu pinjaman mendapatkan aset harganya tidak berubah
terhadap waktu dengan uang sebagai standart harga.
Harga yang lebih tinggi dalam kasus penjualan dengan
kredit berasalan tersebut sudah jauh diselidiki oleh Abu Zahra, namun beliau
tidak dapat memberikan bukti kelebihan harga terhadap waktu diperbolehkan.
Ketika dalam suatu usaha mengetahui bahwa keadaan harga pasar akan jatuh dimasa
depan, maka mereka melakukan penghabisan persediaan dan mendapatkan cash.
Seseorang juga boleh menjual dengan cara kredit pada harga yang lebih rendah
dari harga aslinya. Bahkan, seseorang boleh menjual dengan harga lebih dan
mungkin menghubungkan harga yang rendah dari harga beli baik tunai atau kredit
dan harga yang lebih tinggi dengan waktu. Dalam kenyataanya, perbedaan antara
dua harga sering tidak dapat diperhitungkan.
Hal yang terpenting dari permasalahan diatas adalah
bahwa dalam syari’ah setiap kontrak baik buruknya ditentukan oleh kontrak itu
sendiri, tidak dihubungkan dengan kontrak lain. Kontrak jual beli pembayarannya
ditangguhkan adalah suatu kontrak itu sendiri dan memiliki hak sendiri untuk
diperiksa apakah adil atau tidak tanpa dihubungkan dengan kontrak lain.
Jadi penerapan ekonomi islam dalam pemikiran Zayd bin
Ali yaitu:
1.
Menurut Zayd bin Ali, transaksi kredit
dapat dibenarkan selama masih dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua
belah pihak.
2.
Penjualan yang dilakukan secara kredit
merupakan salah satu bentuk promosi sekaligus respon terhadap permintaan pasar.
3.
Keuntungan dari penjualan kredit adalah kompensasi
atas kemudahan yang diperoleh seseorang tanpa harus membayar tunai.
4.
Keuntungan dari jual beli secara kredit
tentu berbeda dengan pengambilan keuntungan dari suatu penangguhkan pembayaran
pinjaman.
5.
Menurut Zayd, uang tidak dengan sendirinya
menghasilkan sesuatu. Ia baru akan dapat menghasilkan jika dan hanya melalui
perniagaan.
6.
Keuntungan yang didapat dari penjualan
secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga yang lebih tinggi
selalu berkaitan dengan waktu.
7.
Seseorang dapat juga menjual barangnya,
baik secara tunai ataupun kredit, dengan harga yang lebih rendah daripada harga
pembeliannya.
8.
Seseorang yang menjual secara kredit dapat
pula menetapkan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya.
9.
Dalam syariah, setiap baik buruknya suatu
akad ditentukan oleh akad itu sendiri, tidak dihubungkan dengan akad lain.
iii. Pemikiran Ekonomi
menurut Abu Hanifah (80-150 H / 699-767 M).
Abu Hanifah al nu’man
ibn Sabit bin Zauti, ahli hukum agama islam dilahirkan di Kuffah 699 M pada
masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Abu hanifah lebih dikenal sebagai
Imam Madzab hukum yang rasionalitis dan juga dikenal sebagai penjahit pakaian
atau taylor dan pedagang dari Kuffah, dan Irak. Ia seorang non-Arab keturunan
Persia. Kakeknya Zauti mengenalkan Sabit kepada Sayyidina Ali.
Abu Hanifa mengalami
pemerintahan sepuluh khalifah umayyah, termasuk Umar bin Abdul Aziz yang
bertahta ketika Abu Hanifa baru berusia 18tahun. Abu Hanifa juga pernah melihat
dua khalifah abbasiyah, saffah, dan Mansur. Kesibukan Abu Hanifa terutama pada
kegiatan perdagangan, ia terkenal sangat jujur.
Menjelang akhir hidupnya, Abu Hanifa di penjarakan oleh Khalifah Abbasiyah,
Abu ja’far Al- Mansur karena menolak menerima jabatan sebagai qadla atau hakim
kerajaan Abbasiyah. Namun menurut pendpat lain, dia di masukkan ke sel karena
diduga mendukung Zaidiyah (sebuah faksi dari mazhab Syi’ah) yang begitu sering
menentang Dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifa meninggal pada tahun 150 H, tahun di masa Imam Syafi’i
lahir. Beliau di makamkan di pemakaman umum khaizaran. Ikut meninggalkan
beberapa karya tulis, antara lain al – Makharif fi al – Fiqih, al- musnada ,
sebuah kitab hadits yang di kumpulkan oleh muridnya.
Beliau menggagas
keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa
ini dengan bay’ al-salam dan al-murabahah. Abu Hanifah menyumbangkan beberapa
konsep ekonomi yaitu sebagai berikut:
1. Salam
Salam yaitu suatu
bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang
yang beli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak
disepakati.
Abu Hanifah mengkritik
prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada perselisihan antara
yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu dengan orang yang
membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci
lebih jauh apa yang harus ketahui dan dinyatakan dengan jelas secara kontrak,
seperti jenis komoditi, kualitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau
memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia dipasar selama
waktu kontrak dan waktu pengiriman.
2. Murabahah
Untuk menghilangkan
ambigus dan perselisihan dalam masalah transaksi. Hal ini merupakan salah satu
tujuan syariah dalam jual beli maka beliau memberikan contoh, murabahah. Dalam
murabahah presentase kenaikan harga didasarkan atas kesepakatan antara penjual
dan pembeli terhadap harga pembelian yang pembayarannya diangsur. Pengalaman
Abu Hanifah dibidang perdagangan menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme
yang lebih adil dalam transaksi ini dan transaksi yang sejenis.
3. Muzara’ah
Abu Hanifah sangat
perhatian pada orang-orang yang lemah. Abu Hanifah tidak membebaskan perhiasan
dari zakat dan akan membebaskan kewajiban membayar zakat bagi pemilik harta
yang terlilit hutang beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil panen
(muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah yang tidak menghasilkan apapun.
Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.
BAB III
PENUTUP
i.
Kesimpulan
Sesuai dengan pembahasan rumusan masalah
yang kami sampaikan, maka dari itu dapat kami simpulkan bahwa pemikiran ekonomi menurut Imam Zayd bin Ali
memperbolehkan penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih
tinggi dari harga tunai. Zayd tidak membolehkan harga yang ditangguhkan
pembayarannya lebih tinggi dari pembayaran tunai.
Maksudnya beliau tidak
memperbolehkan harga yang ditangguhkan pembayarnya lebih tinggi dari pembayaran
tunai, karena hal seperti itu sama saja seperti penambahan pembayaran dalam
penundaan pengembalian pinjaman. Setiap penambahan terhadap penundaan
pembayaran adalah riba.
Namun dalam kegiatan
perniagaan yang didasarkan pada penjualan kredit, perlu diperhatikan bahwa para
pedagang mendapatkan untung darinya, pendapatan seperti itu adalah bagian dari
perniagaan bukan riba.
ii.
Saran
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak yang kekurangan, oleh karena itu kami
menyarankan kepada semua rekan-rekan mahasiswa untuk mencari informasi yang
lain sebagai tambahan dari apa yang telah kita uraikan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mubarakfury, Syafiurrahman. Sirah Nabawiyyah,Jakarta Pustaka al-Kautsar,2003.
Apridar. Teori
Ekonomi Sejarah dan Perkembangannya,Yogyakarta;Graha Ilmu,2010.
Chamid, Nur. Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar,2010.
Karim, Adiwarman. Sejarah
Pemikir Ekonomi Islam, Cet II, Jakarta:PT Pustaka Pelajar,2002.
Sudarsono, Heri, Konsep
Ekonomi Islam Suatu Pengantar,Yoyakarta; Ekonesia,2004).
http://agenmakalah.blogspot.co.id/2015/05/boigrafi-zaid-bin-ali.html?m=1 diakses pada tanggal 14-09-2016 pukul 11.32 WIB.
http://sharianomics.wordpress.com/2011/03/07/kultwit-pemikir-ekonomi-islam-zaid-bin-ali/ diakses pada tanggal 14-09-2016 pukul 11.45 WIB
http://dwikcay.blogspot.com/2013/01/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam.html
diakses pada tanggal 14-09-2016
pukul 12.01 WIB
http://erikaayurahmawati.wordpress.com/2014/04/27/tokoh-ekonomi-islam-zaid-bin-ali/ diakses pada tanggal 14-09-2016 pukul 12. 36 WIB
[1]
Nur
Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), hal 147.
[2] http://agenmakalah.blogspot.co.id/2015/05/boigrafi-zaid-bin-ali.html?m=1
diakses pada tanggal 14 September 2016 pukul 11.32 WIB.
[3]
Nur
Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), hal 147.
[4]
Apridar,
Teori Ekonomi Sejarah dan Perkembangannya
(Yogyakarta:Graha Ilmu,2010), hal 86.
[5]
Ibid,
hal 86.
[6]
Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu
Pengantar (Yoyakarta:Ekonesia,2004), Hal 147.
ConversionConversion EmoticonEmoticon