AGAMA SEBAGAI SISTEM SOSIAL (EMILE DURKHEIM)





 sumber gambar buscaescolar.com

MAKALAH
AGAMA SEBAGAI SISTEM SOSIAL (EMILE DURKHEIM)
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sosiologi Agama
Dosen Pengampu: Luthfi Rahman M.A


Disusun Oleh:
Afr Agung Bachtiar    1404016045
Ali Nur Fajrin              1404016046
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017

Pendahuluan
Agama merupakan sebuah fenomena sosial, dan karenanya ada pada proses timbal balik yang terus menerus serta hubungan serta hubungan interaktif dengan fenomena sosial lainnya.[1] Agama selalu menghadirkan wajah ganda yang ambivalen[2], menjadi perekat dan sumber integrasi disatu sisi, tapi juga menjadi pemisah dan dan sumber konflik satu sisi lain, bagaimana masyarakat tidak mengenal satu sama lainnya, berasal dari berbagai belahan dunia bisa terbangun sentimennya karena agama. Juga sebaliknya, bagaimana ikatan-ikatan persaudaraan menjadi pudar karena berbeda agama atau pemahaman keagamaan. Wajah ganda agama juga tercermin pada kapasitasnya sebagai sumber penyakit sekaligus penyembuh. Fundamentalisme di tenggara sebagai penyakit yang kerap berujung pada kekerasan. Tapi, agama pula yang berfungsi sebagai obat yang mujarab atau powerful medicine.
Asumsi bahwa peran agama akan meredup pasca pencerahan, nyatanya tidak terbukti. Dugaan akan tergerusnya agama diruang publik, tak terwujud. Meski ada sekularisasi dimasyarakat, tapi proses ini tidak berimbas pada kesadaran individu. Agama masih menjadi modal sosial dan mmberikan pengruh pergumulan masyarakat modern. Dalam bentuknya yang paling militan hingga yang paling halus kita bisa merasakan bagaimana pengaruh dari konfusianisme[3] dan taoisme[4] di Cina dan Taiwan. Kristen kharismatik serta pentakontalisme di Eropa Timur agama disini menjadi bentuk the hidden form capital atau modal yang tersembunyi.[5]
Pembahasan
Emile Durkheim lahir di Epinal, Prancis 15 April 1858, ia keturunan (Rabbi) Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi Rabbi, guru-guru yang beragama Katolik Roma, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta sejak saat itu perhatiannya kepada agama bersifat akademis daripada teologis, ketika dewasa ia menjadi atheis dan tidak pernah mempersoalkan kebenaran keyakinan masyarakat yang sedang ditelitinya, Emile meninggal pada 1917 M.
Durkheim menunjukan bagaimana hubungan antara agama dan integrasi sosial. Pandangan Durkheim tentang agama terpusat pada klaimnya bahwa ide tentang masyarakat menjadi jiwa dari agama.[6] Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri yang akan menilai sesuatu itu bersifat sacral atau profan. Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-elemen “supranatural”, melainkan terletak pada konsep tentang “yang sakral” atau the sacred, dimana keduanya yaitu supernatural dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar.
 Kesimpulan demikian ia tandaskan dalam magnum opusnya, The Elementary Forms Of Religions Life.[7] Sesuai dengan judul bukunya apa yang ditawarkan oleh Durkheim dalam karya tebal itu antara lain tentang bentuk dasar dari agama. Atau Durkheim dalam karya tersebut, hendak melihat tentang struktur dasar dari kepercayaan yang kemudian membentuk pada apa yang kita sebut sebagai agama. Terkait dengan masyarakat, agama menurut Durkheim, sebagai mana dikutip Swidler dan Mojzes, telah melahirkan banyak sesuatu yang esensial dalam masyarakat.[8]  Kita dapat memantapkan fakta bahwa kategori-kategori fundamental dari pemikiran dan konsekuensi pengetahuan adalah asal-usul agama. Dalam perkembangannya, banayak institusi sosial yang besar lahir dalam agama.[9]
Agama dalam bahasan Durkheim tidak bisa dilepaskan dari tema moral dan masyarakat, baik fungsi maupun hakekatnya.[10] Dalam masyarakat, terkandung apa yang disebut solidaritas yang merupakan domain sosiologi.[11] Solidaritas merupakan fakta sosial yang hanya bisa diketahui melalui efek sosialnya. Menurut Durkheim, diantara semua unsur peradaban ilmu pengetahuan adalah satu-satunya untuk menganggap, dalam kondisi tertentu, sebuah karakter moral.[12] Akibatnya, peradaban terdiri dari apa-apa yang menampilkan ini kriteria moralitas, secara moral netral, akan membangun netralitas, secara moral netral. Sehingga jika peran pembagian kerja yang semata-mata untuk membuat peradaban mungkin, akan membangun netralitas moral yang sama.[13]
Untuk mengetahui bentuk dasar dari agama, Durkheim memilih melakukan analisis terhadap agama-agama primitif, ketimbang agama-agama modern. Sistem keyakinan yang primitif dapat ditemukan pada masyarakat sederhana dan dapat dengan mudah dijelaskan. Atas alasan tersebut, Durkheim kemudian memilih suku Arunta masyarakat Aborigin di Australia sebagai sample penelitiannya terhadap agaman untuk dapat memberika pengetahuan tentang apa itu agama.[14] Masyarakat primitif seperti Aborigin, dapat lebih mudah dipahami konteks keyakinannya dibandingkan masyarakat modern yang kompleks. Mereka (baca: masyarakat primitif) memenuhi kebutuhan yang sama, memainkan peran yang sama, dan bertolak dari sebab yang sama. Oleh karena itu karenanya mereka dapat menjelaskan karakter dasar kehidupan keagamaan.[15]
Studinya tentang agama, kata Durkheim merupakan langkahuntuk mengangkat persoalan lama tentang asal-usul agama, but under new conditions.[16] Pada dasrnya, menurut Durkheim tidak ada agama yang salah. Semua agama benar menurut fashion-nya masing-masing. Semuanya memenuhi kondisi tertentu dari manusia, meskipun dengan jalan yang berbeda.[17] Wajar kalau Durkheim sendiri tidak tertarik dengan status epistimologi agama, yakni pertanyaan apakah keyakinan agama itu benar atau salah. Penelitiannya terhadap masyarakat primitif, sama sekali bukan berarti gagasan itu menurunkan nilai agama pada umumnya, karena agama-agama tersebut tidak kurang terhormat dengan agama lainnya.[18] Agama-agama, kata Durkheim merespon kebutuhan yang sama, memainkan peran yang sama, bergantung pada sebab yang sama; ia juga berfungsi untuk menunjukan sifat kehidupan keagamaan dengan baik.

Agama : Totemisme menurut Emile Durkheim
Teori-teori yang dikemukakan Durkheim tentang agama dilandaskan pada hasil penelitian antropologi terhadap kehidupan masyarakat primitif Aborigin di benua Australia. Durkheim tertarik untuk melakukan penelitian terhadap system religius penduduk asli Australia, karena Durkheim merasa bahwa apa yang telah dihasilkan para peneliti terdahulu belum mampu memunculkan apa sebenarnya yang paling penting dari masyarakat Aborigin tersebut. anggapan Durkheim bahwa tidak satupun dari mereka yang berhasil mengungkapkan apa sebenarnya makna totenisme bagi masyarakat suku tersebut. Menurutnya, peneliti terdahulu hanya dapat menggambarkan masyarakat tribal terbagi dalam beberapa klan, di mana setiap klan memiliki binatang dan tumbuhan serta benda lain sebagai totem masing-masing. Setiap totem, entah berupa kijang, kangguru ataupun pohon the, dianggap sakral oleh suku yang memilikinya. Durkheim mengatakan bahwa mereka belum berhasil mengetahui hal yang lebih penting lagi, yakni kenapa totem-totem itu dapat menggambarkan konsep yang sacral dan yang profane dalam masyarakat.
 Durkheim mengamati bahwa dalam masyarakat primitif, setiap binatang “yang bukan totem” boleh diburu dan dimakan karena binatang tersebut termasuk “yang profan”. Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai totem adalah bagian sacral bagi seluruh anggota klan dan tentu saja terlarang bagi seluruh anggota klan untuk membunuh dan memakannya, kecuali untuk dijadikan sebagai korban atau sebagai sesajian dalam upacara-upacara keagamaan. Durkheim berhasil menemukan lambing atau symbol-simbol binatang totem tersebut sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena binatang tersebut bukan hanya dianggap sebagai bagian dari “yang sacral”, akan tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari yang sacral. Sikap tersebut dapat dilihat ketika klan tersebut mengadakan upacara-upacara keagamaan yang selalu menggunakan symbol-simbol dari totem mereka, terbuat dari ukiran kayu atau batu dan diletakkan di tengah-tengah mereka dalam upacara tersebut. Bagi klan, totem tersebut adalah hal yang paling sacral dan dapat mengkomunikasikan kesakralannya itu kepada makhluk yang ada di sekelilingnya. Durkheim menyimpulkan kepercayaan terhadap totemisme adalah hal yang paling penting dalam masyarakat yang sangat sederhana ini, karena seluruh aspek kehidupan mereka yang lain pun sangat dipengaruhi totem-totem ini.[19]
Durkheim menyatakan bila diamati sepintas lalu, totenisme ini tidak lebih dari bentuk keyakinan agama atau sekedar tipe lain dari agama yang selama ini diketahui sebagai bentuk pemujaan terhadap binatang atau tumbuhan tertentu. Tetapi jika dicermati secara teliti, maka yang akan muncul adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Artinya, para penganut kepercayaan totem tersebut sebenarnya tidaklah sedang “memuja seekor binatang” ataupun “tumbuhan yang ukirannya” ada di tengah-tengah mereka, akan tetapi mereka memuja suatu kekuatan yang “anonim” dan “impersonal” yang dapat ditemukan dalam binatang-binatang tersebut, namun tidak dapat disamakan dengannya binatang tersebut. tidak seorang pun dapat memiliki dan menguasainya, namun semua orang harus berpartisipasi dalam menyembahnya. Menurut Durkheim, dalam kepercayaan totem ini juga terdapat Tuhan yang mereka sembah, namun Tuhan itu berbentuk impersonal artinya Tuhan yang tanpa nama atau sejarah, imanen ke dalam dunia dan mengejawantah ke berbagai benda yang ada di alam ini.[20]

kesimpulan
Skema pemikiran Durkheim dalam dikursus agama merupakan konseptualisasi gagasan mengenai hubungannya dengan masalah sosial. Durkheim menunjukan semangat fungsionalismenya dalam membahas agama. Durkheim memunculkan masyarakat dalam konteks solidaritas sosial, kohesi sosial dan integrasi sosialnya. Karena itu, Durkheim seringkali menyebut agama sebagai sebuah fakta sosial, bukan fakta individual. Ia harus dilihat sebagai pesoalan kelompok.
 Durkheim memilih melakukan analisis terhadap agama-agama primitif, ketimbang agama-agama modern. Sistem keyakinan yang primitif dapat ditemukan pada masyarakat sederhana dan dapat dengan mudah dijelaskan. Atas alasan tersebut, Durkheim kemudian memilih suku Arunta masyarakat Aborigin di Australia sebagai sample penelitiannya terhadap agaman untuk dapat memberika pengetahuan tentang apa itu agama.  Masyarakat primitif seperti Aborigin, dapat lebih mudah dipahami konteks keyakinannya dibandingkan masyarakat modern yang kompleks. studinya masyarakat Arunta memperlihatkan bahwa ada simbol yang dapat mempersatukan anggota masyarakat kedalam sebuah kelompok.
 Disini, peran totem perlu diperhatikan. Ia menjadi simbol terintegrasi individu-individu kedalam satu kelompok yang sama-sama memliliki yang sakral. Durkheim bersepakat bahwa agama memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. Ia melihat agama sebagai meiliki peran dalam mengintegrasikan sistem sosial. Menurutnya yang paling penting adalah sistem sosial dalam masyarakat itu sendiri.














Daftar pustaka
Johnstone, Ronal L., Religion In Society; Sociology Of Religion, (New Jersey:Prentice Hall, 1992), Fourth Edition.
Pas, Daniel L., Eight Theoris Of Religion (New York: Oxford University Press, 2006),
Durkheim, Emile., The Elementary Forms Of Religions Life, (new york: the free press, 1995).
Swidler, Leonard dan Paul Mojzes., The Study Of Religion In Age Of Global Dialogue (Philadelpha: Temple University Press, 2000)
Durkheim, Emile.,  The Devision of Labor in Society (New York: The Free Press, 1984).
Barger, Peter L. and Gordon Redding [ed] , “the Hidden Form of Capital: Spiritual Inf Iuences in Societal Progress, (London and New York: Anthem Press,2010),ihat sebagai pesoalan kelompok,________________________________________________________________________________________________ihat sebagai pesoalan kelompok,________________________________________________________________________________________________


[1] Ronald L. Johnstone, Religion In Society; Sociology Of Religion, (New Jersey:Prentice Hall, 1992), Fourth Edition, hlm. 1
[2] KBBI. ambivalen/am·bi·va·len/ /ambivalén/ a bercabang dua yang saling bertentangan.
[3] Aliran konfusianisme merupakan aliran besar yang menjadi kepercayaan masyarakat Cina. • Pada asalnya ,konfusianisme merupakan aliran bukan agama secara mutlak tetapi merupakan aliran falsafah. • Sistem pemikiran yang diasaskan oleh Kung Fu Tze, tokoh peradaban Cina. • Bertujuan meningkatkan moral dan menjaga etika (akhlak) manusia.
[4] Kbbi. taoisme/ta·o·is·me/ n ajaran filsafat dari Lao-Tzu di negeri Cina (abad ke-6 SM) yang menganjurkan bertindak sesuai dengan alam, dan bukan melawannya.
[5] Disampaikan pada seminar “memantapkan peran agama dalam membangun perdamaian universal ( pusat kajian agama dan perdamaian(UNWHAS)), sabtu 15 april 2017. (Peter L. Barger, and Gordon Redding [ed] , “the Hidden Form of Capital: Spiritual Inf Iuences in Societal Progress, (London and New York: Anthem Press,2010), hlm 1).
[6] Daniel L. Pas, Eight Theoris Of Religion (New York: Oxford University Press, 2006), 85
[7] Emile durkheim, The Elementary Forms Of Religions Life, (new york: the free press, 1995).
[8] Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study Of Religion In Age Of Global Dialogue (Philadelpha: Temple University Press, 2000), 1.

[9] ibid
[10] Emile Durkheim, The Devision of Labor in Society (New York: The Free Press, 1984).
[11] Ibid., 27
[12] Ibid., 13
[13] Ibid., 15
[14] Emile durkheim, The Elementary Forms. . . 21
[15] Ibid., 3
[16] Ibid.,7
[17] Ibid.,2.
[18] Ibid.,3.
[19] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hlm. 102.
[20] Emile Durkheim, The Elementary Forms..., 191.
Newest
Previous
Next Post »

Entri yang Diunggulkan

KONFLIK URUT SEWU