SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM



Sumber gambar : amifahrizaldy.blogspot.com




SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM


Disusun Oleh:
Asri Khusnul Azima              (1405015021)
Jefredy S Saputra                   (1405015033)
Shofie Naqiya                        (1405015049)
           Sopingi                                   (1405015090)
Mohamad Nasirudin              (1405015115)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia adalah khalifah di muka bumi. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Untuk mencapai tujuan suci ini, Allah memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia baik akidah, akhlak, maupun syariah.
Perkembangan ekonomi Islam dewasa ini bisa dikatakan mengalami kemajuan, hal ini dikarenakan banyak para ekonom yang menyatakan bahwa ekonomi Islam dipandang mampu untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang timbul dalam bidang ekonomi. Ekonomi Islam yang sekarang ini ramai diperbincangkan bukanlah semata-mata muncul begitu saja, melainkan telah hadir dalam beberapa periode dan fase tertentu yang sejalan dengan perkembangan ajaran Islam pada masa Rasulullah saw.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui tahapan dan periode munculnya pemikiran-pemikiran ekonomi Islam di masa lampau. Hal ini sangatlah perlu karena dalam praktiknya terdapat beberapa permasalahan yang sama yang terjadi pada saat ini dan di masa Rasulullah. Dengan mempelajari sejarah pemikiran Islam diharapkan kita dapat mengimplementasikan teori-teori dan praktik perekonomian yang tidak menyimpang dari ketentuan syariat Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Ekonomi Islam?
2.      Bagaimana Asal-Usul Pemikiran Islam?
3.      Bagaimana Perkembangan Sejarah Pemikiran Islam?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Ekonomi Islam adalah pengetahuan tentang penerapan perintah-perintah (injuctions) dan tata cara (rules) yang ditetapkan oleh syariah dalam rangka mencegah ketidakadilan dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka memenuhi kewajiban kepada Allah dan masyarakat.[1]
Dalam Al-Qur’an Allah swt. memberikan beberapa contoh tegas mengenai ajaran-ajaran para Rasul di masa lalu (sebelum Nabi Muhammad saw.) dalam kaitannya dengan masalah-masalah ekonomi yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu bidang perhatian agama. Mengenai risalah kenabian Ibrahim as. dan putra-putranya, Allah berfirman :
Kami telah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk (manusia) dengan perintah Kami, dan Kami turunkan wahyu kepada mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, melaksanakan salat dan zakat; dan mereka senantiasa beribadah kepada-Ku.[2]
Sejak permulaan Islam di Makkah, bahkan sebelum terbentuknya masyarakat muslim di Madinah, ayat-ayat Al-Qur’an sudah menampilkan pandangan Islam mengenai hubungan antara agama dan keimanan terhadap adanya Allah dan Hari Kiamat di satu pihak, dan perilaku ekonomi dan sistem ekonomi di pihak lain. Allah swt. berfirman:
Celakalah orang-orang yang berbuat curang, yang meminta takaran penuh dari orang lain dan mengurangi takara untuk orang lain. Apakah mereka tidak yakin bahwa mereka akan dibangkitkan (kembali dari kuburnya kelak), di hari yang amat besar, di saat mana manusia menghadap Tuhan penguasa alam semesta (untuk mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya?)
Riba (bunga) yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, sesungguhnya tidak menambah di sisi Allah, (yang dilipatgandakan adalah) zakat yang kamu berikan dengan maksud mendapatkan rida Allah. Orang-orang yang melakukannya yang akan mendapatkan pahala berlipat ganda (dari Allah).
Ayat-ayat yang turun di Makkah ini mengutuk perilaku ekonomi yang ada dan merupakan petunjuk-petunjuk awal mengenai sistem ekonomi terantisipasi yang konsisten dengan agama ini. Perlu dicatat bahwa ayat-ayat ini mengaitkan perilaku ekonomi dengan ajaran tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah di Hari Kiamat kelak.[3]

B.     Asal Usul Pemikiran Ekonomi Islam
Kemunculan ekonomi Islam di Era kekinian, telah membuahkan hasil dengan banyak diwacanakan kembali Ekonomi Islam dalam teori-teori, dan dipraktiknya Ekonomi Islam di ranah bisnis modern seperti ini halnya lembaga keuangan syari’ah bank dan non-bank. Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja. Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik tentunya telah hadir secara bertahap dalam periode dan fase tertentu.[4]
Permasalahannya adalah bagaimana kita menemukan kembali jejak-jejak kebenaran akan sejarah, fase dan periodisasi munculnya konsep Ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu-rambu halal-haram atau berprinsip Syari’at Islam. Lingkup bahasan kelangkaan tentang kajian sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan, karena sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin Muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam. Sesungguhnya, ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus.[5]
Selain penjelasan di atas, lingkup pembahasan dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam juga meliputi penelaahan secara umum asal-usul lahirnya pemikiran ekonomi dalam Islam, berikut berbagai fase perkembangannya hingga memasuki awal abad ke-20 Masehi. Kemudian juga meliputi pembahasan mengenai berbagai kegiatan perekonomian umat Islam yang berlangsung pada zaman pemerintahan Rasulullah saw, dan al-Khulafaurrasyidun, yang mencakup pembahasan mengenai sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan Rasulullah saw, sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan al-Khulafaurrasyidin, kebijakan fiskal pada masa awal pemerintahan Islam, uang dan kebijakan moneter pada awal pemerintahan Islam, serta peranan harta rampasan perang pada awal pemerintahan Islam.
Urgensi sejarah pemikiran ekonomi Islam para Cendekiawan Muslim yang telah menelorkan berbagai rumusan akan misteri kehidupan yang diturunkan dari Kalamullah Al-Qur’an dan Hadits Nabiullah saw, benar-benar menyampaikannya secara totalitas. Tanpa adanya pengurangan maupun penambahan. Prinsip kehati-hatian dan prinsip mutlak sesuai dengan penyamaian awal sangat dijunjung tinggi. Seperti halnya al-Qurtubhi, yang menyampaikan, bahwasannya dia telah menyampaikan kepada umat Muslim dengan tanpa adanya penyaringan atau seleksi terlebih dahulu ketika akan menyampaikan kepada obyek umat yang berbeda latar belakang masig-masing, sehingga tidak jarang hal ini umat merasa dibuat semakin bingung.
Ketidaksistematisan dan indahnya pengemasan unsur keilmuan yang harus disampaikan oleh masing-masing periwayat keilmuan ini, merupakan suatu hal yang cukup berbahaya. Hal ini telah ditangkap para Orientalis sebagai sebuah sinyal peluang untuk diungkapkan. Baik berupa plagiat keilmuan dengan “asal klaim”, maupun pemutar balikan isi atau konten pernyataan para Cendekiawan, sehigga memiliki arti yang berlawanan dan tidak sesuai dengan tujuan penyampaian semula oleh para Cendekiawan Muslim. Oleh sebab itu, penelitian kembali akan sejarah meskipun tidak akan ketemu kemali, namun dapat dijadikan sebuah pelajaran utama yang berharga dalam salah satu sandaran pijakan jika nantinya sejarah terulang kembali dengan kemiripan situasi dan kasus serupa. Mempelajari sejarah pemikiran ekonomi Islam secara khusus dan sejarah pemikiran Islam secara umum, dirasa perlu untuk meluruskan kembali dan menyampaikan sesuatu fakta sejarah kemunculan, perkembangan dan kebijakan.[6]

C.     Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Ilmu ekonomi Islam sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada tahun 1970-an, tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. Karena rujukan utama pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan diturunkannya Al-Qur’an dan masa kehidupan Rasulullah saw., pada abah akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa tersebut banyak sarjana Muslim memberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi. Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar argumentsi relijius dan sekaligus intelektual yang kuat serta –kebanyakan- didukung oleh fakta empiris pada waktu itu. banyak diantaranya juga futuristik di mana pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir Muslim banyak mengisi khasanah pemikiran ekonomi di dunia pada masa di mana Barat masih dalam kegelapan (dark age). Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang.

1.      Perekonomian di Masa Rasulullah ( 571-632 M)
Kehidupan Rasulullah saw. dan masyarakat Muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik implementasi Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa sebelum kenabian Muhammad saw. adalah seorang pebisnis, tetapi yang dimaksudkan perekonomian di Rasulullah di sini adalah pada masa Madinah. Pada perioden Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy. Barulah periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan berdab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh menumpuk pada segelintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan.[7]
Rasulullah saw. mengawali pembangunan Madinah dengan tanpa sumber  keuangan yang pasti, sementara distribusi kekayaan juga timpang. Kaum muhajirin tidak memiliki kekayaan karena mereka telah meninggalkan seluruh hartanya di Makkah. Oleh karena itu, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar sehingga dengan sendirinya terjadi redistribusi kekayaan. Kebijakan ini sangat penting sebagai strategi awal pembangunan Madinah. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian, Rasulullah mendorong kerja sama usaha di antara anggota masyarakt (misalnya muzaraah, mudharabah, musaqah, dan lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktifitas. Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan negara juga mingkat. Sumber pemasukan negara berasal dari beberapa sumber, tetapi yang paling pokok adalah zakat dan ushr. Secara garis besar pemasukan negara ini dapat digolongkan bersumber dari umat Islam sendiri, non-Muslim, dan umum.[8]
Zakat dan ushr merupakan sumber pendapatan pokok, terutama setelah tahun ke-9 H di mana zakat mulai diwajibkan. Berbeda dengan sumber penerimaan lain yang pemanfaatannya ditentukan oleh Rasulullah saw. zakat hanya boleh diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang telah digariskan oleh Al-Qur’an (QS At Taubah: 60). Untuk orang-orang non-Muslim, Rasulullah memungut jizyah sebagai bentuk kontribusi dalam penyelenggaraan negara. Pada masa itu besarnya jizyah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.[9]


2.      Perekonomian di Masa Khulafaurrasyidin
Para Khulafaurrasyidin adalah penerus kepemimpinan Nabi Muhammad saw. karenanya kebijakan mereka tentang perekonomian pada dasarnya adalah melanjutkan dasar-dasar yang dibangun Rasulullah saw. Khalifah pertama, Abu Bakar Siddiq (51 SH-13 H/537-634 M) banyak menemui permasalahan dalam pengumpulan zakat, sebab pada masa itu mulai muncul orang-orang yang enggan membayar zakat. Beliau membangun lagi Baitul Maal dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana pada masa Rasulullah saw. Beliau juga mulai mempelopori sistem penggajian bagi aparat negara, misalnya unutk khilafah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap hari hanya dari Baitul Maal. Tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham per tahun.
Khalifah kedua, Umar bin Khattab (40 SH-23 H / 584-644 M), dipandang paling banyak melakukan inovasi dalam perekonomian. Umar bin Khattab menyadari pentingnya sektor pertanian bagi perekonomian, karenanya ia mengambil langkah-langkah besar pengembangan bidang ini. Misalnya, ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat yang bersedia menggarapnya. Namun, siapa saja yang gagal mengelolanya selama 3 tahuun maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Saluran irigasi terbentang hingga daerah-daerah taklukan, dan sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serba guna kelancaran dan distribusi air. Menurut Maqrizi, di Mesir saja ada sekitar 120.000 buruh yang bekerja setiap hari sepanjang tahun. Mereka digaji dari harta kekayaan umat. Juza bin Muawiyah dengan seizin Umar, banyak membangun kanal-kanal di distrik Khuziztan dan Ahwaz, yang memungkinkan pembukaan dan pengolahan banyak sekali ladang pertanian.[10]
Permasalahan ekonomi di masa Khalifah Usman bin Affan (47 SH-35 H / 577-656 M) semakin rumit, sejalan dengan semakin luasnya wilayah Negara Islam. Pemasukan Negara dari zakat, jizyah, dan juga rampasan perang semaki besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazni Kerman, dan Sistan ditaklukan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama, Islam mengakui empat kontrak dagang setelah negara-negara tersebut ditaklukan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon, buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Di Mesir, ketika angkatan laut Byzantium memasuki Mesir, kaum Muslim di awal perintah Usman mampu mengerahkan dua ratus kapal dan memenangkan peperangan laut yang hebat. Demikianm kaum Muslimin membangun supremasi kelautan di wilayah Mediterania. Laodicea dan wilayah semenanjung Syria, Tripoli, dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Sementara itu, biaya pemeliharaan angkatan laut sangat tinggi yang semuanya menjadi bagian dari beban pertahanan periode ini.
Dalam pemerintahan Usman komposisi kelas sosial di dalam masyarakat berubah demikian cepat, yang kemudian juga menimbulkan berbagai masalah sosial politik yang berbuah konflik. Tidak mudah pula mengakomodasi orang kota yang cepat kaya karena adanya peluang-peluang baru yang terbuka menyusul ditaklukannya provinsi-provinsi baru.
Ali bin Abi Thalib (23 SH-04H / 600-661M), khalifah yang keempat, terkenal sangat sederhana. Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya, Ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Maal, bahkan menurut yang lainnya ia memberikan 5.000 dirham setiap tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Salah satu upayanya yang monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, di mana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari persia.[11]

3.      Pemikiran Ekonomi Islam
Terminologi pemikiran ekonomi Islam di sini mengandung dua pengertian, yaitu pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh para sarjana Muslim dan pemikiran ekonomi yang didasarkan atas agama Islam. Dalam realitas kedua pengertian ini sering kali menjadi kesatuan, sebab para sarjana Muslim memang menggali pemikirannya mendasarkan pada ajaran Islam. Pemikiran ekonomi dalam Islam bertitik tolak dari Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber dan dasar utama Syariat Islam. Oleh karena itu, sejarah pemikiran ekonomi Islam sesungguhnya telah berawal sejak Al-Qur’an dan Hadis ada, yaitu pada masa kehidupan Rasulullah Muhammad saw, abad ke-7 Masehi. Pemikiran-pemikiran para sarjana Muslim pada masa berikutnya pada dasarnya berusaha mengembangkan konsep-konsep Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan tetap bersandar kepada Al-Qur’an dan Hadis. Memang harus diakui secara jujur bahwa para sarjana Muslim pasca Rasulullah banyak membaca karya-karya pemikir Yunani-Romawi, sebagaimana juga karya Syrian-Alexandrian, Zoroastrian, dan India. Namun demikian, mereka ini melainkan memperdalam, mengembangkan, memperkaya dan memodifikasinya sesuai dengan ajaran Islam (Nakosten, Mehdi, 1994)
Siddiqi telah membagi sejarah pemikiran ini menjadi tiga periode, yaitu periode pertama/fondasi (Masa awal Islam -450 H/1058 M), periode kedua (450-850H/1058-1446 M), dan periode ketiga (850-1350 H/ 1446-1932 M). Periodesasi ini masih didasarkan pada kronologikal (urutan waktu) semata, bukan berdasarkan kesamaan atau kesesuaian ide pemikiran. Hal ini dilakukan karena studi tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam masih pada tahap eksplorasi awal.[12]
1)      Periode Pertama/Fondasi (Masa Awal Islam – 450 H/1058 M)
Pada periode ini banyak sarjana Muslim yang pernah hidup bersama pada sahabat Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang autentik. Beberapa di antara mereka antara lain: Hasan Al Basri, Zayd bin Ali, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad Bin Hasan al Syahbani, Yahya Bin Adam, Syafi’i, Abu Ubayd, Ahmad bin Hanbal, Al-Kindi, Junayd Baghdadi, Al-Farabi, Ibnu Miskwayh, Ibnu Sina, dan Mawardi.[13]
2)      Periode Kedua (450-850 H/ 1058-1446 M)
Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat pemikir-pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini, misalnya: Al-Ghazali, Nasirudin Tutsi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Al-Maghrizi, Abu Ishaq Al-Shatibi, Abdul Qadir Jaelani, Ibnu Qayyim, Ibnu Baja, Ibnu Tufayl, Ibnu Rusyd, dan masih banyak lagi. Para pemikir ini memang berkarya dalam berbagai bidang ilmu yang luas, tetapi ide-ide ekonominya sangat cemerlang dan berwawasan ke depan.[14]

3)      Periode Ketiga (850-1350 H/ 1446-1932 M)
Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terdapat beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, sebagaimana tampak dalam karya dari: Shah Waliullah, Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Nujaym, Ibnu Abidin, Ahmad Sirhindi, dan Muhammad Iqbal.[15]












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ekonomi Islam adalah pengetahuan tentang penerapan perintah-perintah (injuctions) dan tata cara (rules) yang ditetapkan oleh syariah dalam rangka mencegah ketidakadilan dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka memenuhi kewajiban kepada Allah dan masyarakat.
Terminologi pemikiran ekonomi Islam di sini mengandung dua pengertian, yaitu pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh para sarjana Muslim dan pemikiran ekonomi yang didasarkan atas agama Islam. Pemikiran ekonomi yang didasarkan atas agama Islam bertitik tolak dari Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber dan dasar utama Syariat Islam. Oleh karena itu, sejarah pemikiran ekonomi Islam sesungguhnya telah berawal sejak Al-Qur’an dan Hadis ada, yaitu pada masa kehidupan Rasulullah Muhammad saw, abad ke-7 Masehi.
Sedangkan pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan oleh para sarjana Muslim sendiri merupakan pengembangan dan pendalaman dari pemikiran ekonomi Islam yang didasarkan atas agama Islam. Perkembangan pemikiran ekonomi Islam oleh sarjana Muslim sendiri dibagi kedalam tiga periode yaitu: periode pertama/fondasi (Masa awal Islam -450 H/1058 M), periode kedua (450-850H/1058-1446 M), dan periode ketiga (850-1350 H/ 1446-1932 M).










DAFTAR PUSTAKA
Huda, Choirul. Ekonomi Islam. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya. 2015.
Khaf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap fungsi sistem Ekonomi Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pusat Pengkajian dan Pengemabangan Ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam. Jakarta: Raja Grafindo






[1] Choirul Huda, Ekonomi Islam, 2015, Semarang: Karya Abadi Jaya, hlm. 12
[2] Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap fungsi sistem Ekonomi Islam), 1995, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 2.
[3] Ibid, hlm. 3-4
[4] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 2010, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hal. 2
[5] Ibid, hlm. 2-3
[6] Ibid, hlm. 4-6
[7]Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam(P3EI), Ekonomi Islam, 2013, Jakarta:PT RajaGrafindo,  hlm.97-98
[8] Ibid, hlm. 88-89
[9] Ibid, hlm. 100
[10] Ibid, hlm. 101-102
[11] Ibid, hlm. 104
[12] Ibid, hlm. 105
[13] Ibid, hlm. 105-106
[14] Ibid, hlm. 109-110
[15] Ibid, hlm. 115
Previous
Next Post »

Entri yang Diunggulkan

KONFLIK URUT SEWU